Obrolan
Bar
Segmen (Science, Love and Reality)
Di dalam sebuah bar dengan suasana Jawa
yang kental. Lampu remang- remang yang mangkuk lampunya terbuat dari bambu
bertengger menempel di dinding bercat coklat. Pelayan- pelayan yang sudah
memasang raut senyum terus saja menorehkan wajahnya saat berlalu lalang di
depanku. Aku duduk dipojok ruangan bar ini.
Berusaha mengalihkan kesedihan hatiku dengan meminum segelas Coffe
Cookies yang dingin. Segelas kopi ini mungkin dapat menemaniku untuk mengurangi
stress yang tertanam di kening ini. Perasaan terpendam yang sulit untuk
diungkapkan. Perasaan itu menggunung bagaikan tumpukan sampah yang menghambatku
tersenyum. Racikan kopi hitam esspreso yang dicampur biskuit Oreo, Meses, es
batu dan beberapa gula dan susu. Kemudian dilebur halus menjadi satu dengan
blender dan diakhiri dengan sebatang Chocolatos yang berfungsi sebagai sedotan.
Racikan ini yang tetesannya melintas membasahi lidahku seolah membuatku menuju
dimensi kenyamanan yang seakan- akan tak ada orang yang sanggup menggangguku.
Aku dapat menikmati diriku sendiri. Apalagi gangguan dari pria ini. Pria yang
sudah 9 kali menelponku namun tidak jua ku angkat. Bosan aku menunggu dia,
sinyal hijau yang telah kutunjukan padanya. Tidak juga membuatnya berkata “I
Love You.” Atau sekadar dengan bahasa Indonesia seperti “Aku suka kamu!” Yang
paling membuatku benci ialah ia yang sering berjalan bersama teman wanita lain,
suka membantu teman- temanku untuk mencibir aku dengan yang lain, dan yang
menyedihkan dia kadang mencomblangi
aku dengan santainya. Aku tak mau yang lain, aku mau kamu. Kau harus mengerti,
jiwaku bergetar saat tersenyum bersamamu.
Kala itu
ia tersenyum padaku, berteori tentang hukum cinta yang disukainya. Cinta itu
seperti hukum kelebaman Newton. Pada awalnya mungkin sangat sulit untuk memberi
sepercik perhatian pada orang yang kau tuju. Hingga akhirnya masa itu tiba,
sangat mudah untukmu berkali- kali memberikan perhatian kepada orang tersebut. Perasaan
itu terus berkembang, seperti candu hingga kau menjadi kecanduan. Perasaan itu
terus berkembang hingga kau jatuh cinta padanya. Semakin dalam kau terjerat,
kau mempersempit dunia. Hanya ada dia difikiranmu. Kau teramat sangat ingin
memilikinya karena hanya dia seorang yang mampu membuatmu bahagia. Maka, bukan
lagi sulit untuk memberi secercah cinta, tapi sangat mudah untuk mengumbar
seluruh cinta kepada orang yang kau cintai itu.
Yah
Ridho, terus saja aku membayangkan sosoknya di tengah senja. Pakaian compang
campingnya, duduk bersilanya, dan kesederhanaannya dalam memandang dunia
membuatku jatuh ke dasar jurang asmara. Kau
tahu, dia tak pernah mempersulit dirinya saat kala itu skripsinya yang tak
kunjung diselesaikan, atau sosoknya yang tidak spesial ; tidak kaya, tidak juga
rupawan. Dia tak pernah bersedih akan hal itu, dia terus saja tersenyum dan mencari
impian- impian yang terkadang tidak masuk diakal. Pola fikir sederhananya
membuat dia tampak seperti orang besar. Hal itu yang membuat aku takjub pada
dirinya. Pernah seketika itu ia berkata padaku “bukankah Einsten pernah berkata bahwa orang pintar menyederhanakan
dunia. Dan orang bodoh mempersulit hal yang sebetulnya sederhana. Jadi, jangan
sampai teori- teori yang kita pelajari justru mempersulit persoalan yang
sebetulnya mudah.”
Aku
bersikap acuh padanya berharap dapat melupakan dia. Sosok yang kutahu tak dapat
kumiliki. Yang kutahu dia akan mendapatkan wanita dengan mudahnya, tak mungkin
sosok semacam aku dapat menarik perhatiannya. Aku bukan apa- apa dibanding
dengan semua yang telah diperbuatnya. Aku minder. Handphoneku terus berdering
dan terus saja aku acuh padanya. Ingin sekali aku angkat dan mengungkapkan
bahwa aku benar- benar tak ingin kehilangannya. Aku ingin dia tahu tapi aku
sangat cemburu setelah semua kejadian kulihat dia bersama wanita lain yang
berjalan bersamanya. Bukan salahnya, itu salahku. Dia menganggapku sahabat yang
dekat dan ia pernah berkata bahwa aku adalah sahabat terbaiknya. Namun, aku
manusia biasa yang tak lepas dari keinginan. Seharusnya aku bersyukur bahwa ia
mau menerimaku sebagai sahabat terbaiknya, namun harus aku akui bahwa aku
menginginkan ia menjadi kekasihku. Pendamping hidupku. Sungguh aku tidak
bersykur atas semua rezeki yang kumliki. Handphoneku berdering lagi, dan
akhirnya aku telah memutuskan. My beloved
boy, akhirnya aku mengangkat telepon darimu.
“Hei sob. Lama sekali kau tak menjawab
panggilan teleponku. Ada apa kamu?”
“Ah gak papa Dho.. Aku hanya gak
enak badan. Ngomong- ngomong ada perlu apa ya.He..?”
“Yah kamu sakit ya,, jadi gak enak
nih ganggu?”
“Jangan gitu, gak papa kog.. Kamu
nelpon pusingku berkurang kog,hehe..”Akupun berakting
untuk menenangkan Ridho.
“Yah..gak papa sih. Pingin cari temen aja.
Aku lagi jaga malem nih. Ngurusin buat
persiapan pengeboran minyak besok. Uhh…Ngantuk banget.” Nampaknya Ridho
kesepian saat shift malam di tempat kerjanya ia, pengeboran minyak lepas
pantai.
“Hahaha..Santai aja Dho. Ngobrol aja sama
aku. Tapi tumben aja kamu telpon aku? Gak yang lain aja.”
“Lagi pengen sama kamu aja. Lagipula kamu
khan orangnya 24jam. Hehe..Padahal baru aja lusa kemaren ya kita jalan- jalan
ke pantai. Tapi kalo ganggu kamu, aku tutup lho..”
“Wah jangan dho..Aku juga lagi
bosan, lagi bete.” Akupun membela diri agar handphonenya tidak
ditutup dan aku tidak mendengar ocehannya lagi. “Yah kemaren lusa kamu ajak aku, aku seneng lho. Momen- momen menatap
matahari senja yang indah.”
“Yah aku juga suka. Hehe..Kapan-
kapan aku ajak kamu lagi gak papa khan? Ngelepas penat.”
“Oh..Seperti katamu Dho. I’am Always Ready 24 Hours for You.” Akupun menjawab dengan
senang.
“Ah baiklah, katanya lagi bete kenapa?
Masalah percintaan?” Ucapan Ridho membuatku merinding.
“Tahu aja kamu Dho kayak dukun.Biasalah Dho,
kisah cinta yang tak terungkapkan.”Aku bergumam seraya menunduk.
“Sudahlah jangan bersedih, cinta itu seperti
hukum Newton ketiga. Jika sebuah massa diberi gaya aksi, maka akan ada gaya
reaksi yang sama besarnya dengan aksi, namun arahnya berlawanan. Seperti cinta
yang memiliki gaya aksi dan reaksi yang seakan saling tarik menarik semakin
terikat. Jika engkau memberikan cinta kepada orang lain sebesar apapun, maka
dia akan membalasnya sebesar yang kau berikan.” Ridho pun memberi nasehat.
“Memang perkataanmu luar biasa. Kau
memang gemar bergelut dengan Newton. Andai dia tahu. Aku telah berkorban cinta
begitu banyak. Akankah hubungan tarik menarik itu terjadi. Mungkin tidak akan
terjalin seperti positif dan negatif sebuah magnet. Namun, lebih tepatnya
sejenis. Negatif dengan negatif, saling bertolakan.” Aku
menggegam handphone begitu erat. Emosi terpendam ini rasanya ingin kuungkapkan.
Namun begitu sulit.
“Baiklah, nampaknya aku menelponmu di saat
yang tepat. Memang kamu dimana?”
“Aku di Romansa Bar. Tempat kita
biasa bertemu.”
“Yeh sakit- sakit malah kesana.
Pasti kau sedang minum kopi biskuit itu, dasar kayak anak- anak aja kamu.”
“Hei, hei sok tahu kamu… Tapi iya
sih aku sedang minum itu. Cukup melegakan bisa mengurangi stress dari dalam
hatiku.”
“Sudahlah kawan, hapus itu
kesedihanmu. Kamu bisa di dalam kamar, kamu bisa di kampus, kamu bisa di luar,
bahkan kamu bisa di belahan dunia di mana kamu suka. Tapi sesungguhnya kamu
tidak kemana- mana. Sesungguhnya kamu ada di dalam fikiranmu.” Pernyataan Ridho membuatku lega, namun cukup membingungkan.
“Apa yang kau maksud?”
“Maksudnya, jasadmu boleh di manapun
berada. Tapi sesungguhnya kamu adalah sosok yang tersekat oleh dinding
fikiranmu. Duniamu bisa dimana- mana, tapi sesungguhnya kamu berada pada
persepsimu, sudut pandangmu. Allah pernah berkata bukan, Tuhan ada mengikuti
perasaan hambanya. Sesungguhnya kamu hari ini adalah kumpulan permainan otak
yang kamu ciptakan dari peristiwa yang pernah kamu alami.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan
agar aku lebih baik?”
“Perbaiki persepsimu. Tidak selalu
apa yang kamu fikirkan itu buruk. Mungkin kenyataan lebih baik dari persepsimu.
Berprasangkalah yang baik. Maka Tuhan memberikan pertolongan dengan prasangka
yang baik.” Ridho menasehatiku dengan suaranya yang
santai.
Dalam
hati aku ingin mengucapkan, sesungguhnya aku tidak kemana- kemana karena aku
ada di dalam fikiranku, bayangan senyummu.
“Hei kog bengong? Sudahlah jangan bersedih”
“Ya Dho..Aku
mendengarkan.Lanjutkanlah.”
“Baiklah masalah persepsi tadi, coba
perhatikanlah sebuah teori Quantum berkata. Sesungguhnya penciptaan alam
semesta beserta isinya, makhluk hidup maupun kebendaan semuanya merupakan
kumpulan dari partikel yang sangat kecil, misalkan saja benda padat tercipta
dari kumpulan- kumpulan molekul di mana molekul adalah kumpulan atom.”
“Apa yang harus aku pahami? Misalkan
meja di depanku merupakan kumpulan atom?”
“Yah..Itu benar, kau mempersepsinya
padat. Padahal tidak. Meja didepanmu itu tidak padat pejal sama sekali, benda
itu ternyata kumpulan dari atom- atom kecil sehingga bisa dipisah, ditembus.” Akupun semakin mengerti makna dari Quantum yang diuncapkan
olehnya.
“Kau memang cerdas sekali Dho, maksudmu
andai saja aku mau melihat sisi terkecil dari perasaan dan peristiwa yang aku
alami. Sesungguhnya cinta tak sekejam itu.”
“Baik benar juga, ubah sudut
pandangmu dan cobalah untuk mencari alternatif dari penyelesaian masalahmu.”
Kau
berkata menjebakku Dho. Sesungguhnya engkaulah sumber masalah yang ingin aku
ungkapkan. Yang ingin aku menangkan. Kaulah seluruh perasaan jiwa ragaku hingga
atom- atom terkecil sekalipun.
“Hei kawan, tidak ada yang salah jika engkau
mengungkapkan masalahmu itu kepadaku.”
Perkataan
Ridho barusan seolah menegangkan seluruh keningku. Keringat dingin keluar dari
sela- sela rambut, kening dan jambang. Begitupun handphoneku yang kugenggam
gemetar seraya bibirku yang kaku untuk mengungkapkannya.
“Dho..Apa itu perlu?”
“Menurutku itu perlu, toh tidak ada
masalah yang selesai. Bila tidak dibicarakan.Katakanlah dan kau akan lega.
Realita tidak sekejam di dalam permainan otakmu kawan.”
Keringatku
membasahi sekujur muka dan tubuhku. Wajahku memerah merona. Dan cepat- cepat
kusruput kopi sedikit memberi ketenangan.
“Aku..Anu..Aku…Aku..Menurutmu, kamu
mau dianggap apa sama aku?” Aku yang gemetaran pun akhirnya
mengucapkan sepatah kata.
“Eumm..Yang terbaik untuk kamu aja...Kenapa?”
Hatiku langsung dag dig dug duer mendengarnya.
“Em..Ini Dho, Aku..Aku suka sama kamu. Aku
sangat ingin menjadi kekasihmu. Ma..maaf ya.” Panas dalam diriku membuncah,
sesuatu yang aku pendam itu akhirnya terucap juga. Aku tak tahu, apa
pendapatnya. Apakah ini akan menjadi perbicaraan terakhirku dengannya karena
dia marah? Aku sungguh menyesal mengucapkannya.
“E..eh. Kalau itu, kalau itu yang terbaik
menurutmu. Baiklah. AKu ikuti apa maumu kalau itu yang terbaik untukmu.Hmm, Rupanya
itu ya masalahmu.” Suaranya sungguh mengejutkan. Ia terdengar seperti
tersenyum iklas dan tanpa beban. Akupun rasanya ingin menangis terharu. Emosi
yang terpendam begitu dalam begitu lama terungkap juga. Aku sangat lega. Begitu
lega.
“A..aku minta maaf Dho..Aku lancang..Maaf!”
“Tidak apa..Itukah yang kau
inginkan. Sesungguhnya itu adalah keajaiban Quantum. Saat kamu dapat merincinya
menjadi dasar atom terkecil. Sesungguhnya kamu menemukan sebuah zat ataupun
peristiwa yang tak terduga. Bahwa realita tak sesulit yang ada difikiranmu
khan? Dan sesungguhnya ada psikis dibalik fisik.”
Aku
tak peduli lagi dengan teori- teorinya, semua perkataanya saat ini bagaikan
nyanyian buatku. Aku begitu gembira.
“Sebutkan saja apa yang ada dibalik teorimu
itu Ridho..He..Sayang.”
“Sesungguhnya cinta adalah integrasi
dari 2 hal yang bersifat Fisika dan Meta- Fisika. Keduanya berdasarkan dua
aspek yang sama. Alam. Yang membedakan adalah Fisika sesuatu yang kasat mata,
dan meta fisika sesuatu yang ghaib.” Ucap Ridho
menjelaskan.
“Fisika
adalah ketika kamu berdekatan dengan orang yang kau cintai kau langsung
mengubah perilakumu. Kau menjadi lebih perhatian, tubuhmu semakin sehat, dan
kau selalu sigap untuk memberikan yang terbaik. Namun tahukah kamu, rupanya ada
pula yang metafisika. Manusia itu sebetulnya memiliki gelombang metafisika.
Semakin setara emosimu dengan orang yang kau cintai. Maka kau dapat berkomunikasi
dengannya tanpa mengucap kata sepatah katapun. Sejauh apapun ruang dan waktu,
kau tetap merasakan kehadirannya, bahagia atau sakitnya. Dan tentunya, aku
dapat menebaknya. Bahwa kita memiliki emosi yang setara. Emosi cinta.”
Perkataannya seolah laksana cahaya yang
menusuk hati yang telah lama gelap. Sekarang semuanya semakin jelas, bahwa ia
memiliki perasaan yang sama denganku.
“Lalu..kenapa
kau menelponku saat ini? Saat aku benar- benar merindukanmu? Apakah itu karena
gelombang metafisika.”
“Yeah..Bisa
dibilang seperti itu. Mungkin kita sudah ditakdirkan bertemu. Walau apapun yang
terjadi, cinta itu seperti hukum kekekalan energi. Cinta tidak diciptakan,
tidak pula lenyap. Cinta hanya mengubah satu bentuk menjadi bentuk yang lain.”
“Segala
macam teorimu Dho.. Membuatku bingung. Kau sendiri yang berkata orang pintar
menyederhanakan hal yang rumit dan orang bodoh sebaliknya.”
“Hehe..Aku
memang menjadi terlalu bodoh bila dihadapanmu. Cinta itu tidak diciptakan, Ia
sudah ada.. Sudah ditakdirkan. Pertemuan kita, dan semua perasaan yang terpendam.
Sesungguhnya sudah ada yang mengaturnya. Memang takdir kita untuk bertemu dan
mencinta. Hanya wujudnya yang berubah dari satu ke wujud yang lain. Tidakkah
kau bersyukur, bahwa takdirmu adalah membahagiakan aku. Aku bersyukur tentang
hal itu.”
“Aku
sangat bersyukur Ridho! Tapi apakah kita bisa membuat ikatan saat ini?” Akupun berharap bahwa ikatan itu tercipta.
“Tidak
bisa..Itu tidak bisa saat ini. Namun aku percaya, jodoh itu tidak akan kemana.
Selama kita menundanya untuk hal yang lebih menguntungkan maka sesuatu itu akan
terjadi.” Nampaknya Ridho belum bisa membuat
ikatan saat ini. Dan aku harus menanti waktu itu tiba dengan sabar.
“Baiklah,
aku percaya kamu Ridho. Kau tahu aku di sini menanti saat- saat ini. Hal di
mana aku bisa mengungkapkan semua, dan sungguh kau ternyata memiliki perasaan
yang serupa..”
“Ehm,,
Melihat matahari senja kemarin mengingatkanku pada sesuatu. Matahari tenggelam
setiap harinya, dan hari akan menjadi gelap. Namun, kita tetap percaya, bahwa
setelah datangnya malam matahari akan kembali terbit dan menyinari dunia. Maka
dari itu, kita tidak pernah ragu untuk tidur, mempersiapkan hari esok yang kita
yakin akan cerah.”
“Baiklah..Aku
percaya! Hati- hati di sana Ridho! Maka, akupun harus mempersiapkan diri untuk
menyongsong hari esok.”
“Yiah,,
dan nampaknya aku harus kembali bekerja sebelum tidur..Hati- hati yah. Sayangku…
Bambang.”
Tut….Tut……Tut…..Tut…….
Telepon
Ridho terputus. Kupetik jari jemari lentikku memanggil kasir untuk membayar
segelas kopi dan sebatang Rokok Kretek yang telah kuhabiskan setengah slop. Dan
aku siap untuk menyongsong datangnya mentari pagi, dengan menari.
Pukul 23.28 WIB. Nampaknya masih ramai saja suasana
bar ini.
GuDab
kunjungan balik gan,, sering" ke blog saya yaaa
BalasHapusmakasih gan,, sip2
BalasHapus.. emmmmmm,, itu cerpen kah?!? ..
BalasHapuscerpen tapi omnibus..
BalasHapussejujurnya saya juga bingung. Ini novelet pa cerpen. Tapi memang saya ingin membuat cerita omnibus yang isinya cuman orang yg membahas sebuah topik dengan dialeg2 yg satire (agak kasar). Yha..contoh Quentin Tarantino
BalasHapus.. waduch,, rada bingunk juga aq. he..86x ..
Hapushehenya 86x awas gigi nanti kering. Coba aj, aku banyak denger istilah omnibus di film2. Biasanya film2 bagus di Indonesia memuat film2 omnibus.
Hapus