Rabu, 25 Juli 2012

The Man with The Weapon


Malam, sebuah masa di mana setiap insan kembali ke istana mereka. Merebahkan diri duduk di sofa yang empuk sembari menggendutkan perut nonton sinetron dengan kacang rebus di genggaman tangan kiri mereka, atau mungkin cukup mengakhiri hari di alas tidur yang empuk untuk bermimpi indah. Seluruh pompa darah andrenalin berkurang menuju zona gelombang yang rendah mengurangi fluktuasi yang labil. Insan beristirahat merenggangkan syaraf- syaraf tegang mereka. Melupakan kejadian buruk tadi siang, atau cukup mengenang keindahannya dalam mimpi panjang.

Mereka, tak lebih bagai perkutut yang terlalu nyaman hidup di dalam sangkar. Begitu nyaman dengan suapan- suapan takdir. Terpejam, terbelalak dengan sistematika kehidupan yang serupa. Tidak sadar bahwa mereka terkurung di dalam kotak normalitas. Mereka hanyalah mendekam di dalam sangkar. Lupa bahwa hidup mereka berada pada pola pikir yang sempit. Lupa, bahwa mereka tidak kemana- mana, hanyalah menjadi budak dari stir- stir kebijaksanaan yang terpola dalam long term memory mereka. Mereka terpenjara!

Lahir dari realita ini, yang begitu sempit, begitu apatis. Ku bebaskan diri keluar kotak, mencuri kunci dan kabur merdeka. Menghirup sejuknya kebebasan. Kini, digenggaman kedua tanganku ini. Butiran- butiran ide perubahan kugenggam erat- erat.Kuangkat kaki kananku, kulangkahkan kaki pada langkah pertama. Ku tersenyum dan kuangkat tangan kananku dalam genggaman. Sebuah klausa “REVOLUSI!” kukatakan dengan sangat… sangaaat… sannngaaaaattt pasti. KuKATAKAN Klausa iTU dengan SEMANGAT 45! “ INI… IBUUU…. BUUDIIII!” Eiiiiiiiiiiiitsss..?


Bukanlah sebuah revolusionis akademik namanya bila terlalu apatis dengan kegundahan. Sudah kukatakan klausa REVOLUSI yang kukatakan dari lubuk hati yang paling dalam. Maka malam itu, tepatnya Jam 23.00 WIB. Ketika semua orang sudah apatis dengan dinamika. Memilih istirahat di dalam sangkar- sangkar perkutut mereka. Kulajukan motor belalang tempur bebaskan diriku halau kegundahan hati. Kugas motor dan kuhajar hingga kecepatan maksimum. Setiap tetes bensin yang terbakar, berubah menjadi akomodasi dalam detik- detik penghapusan kegalauan. Hingga akhirnya kurem motorku tepat di sebuah bangunan.

Alfamart, ya.. ku standartkan motorku. Pria macam apa yang berkeliaran malam- malam begini, berani beraninya berkunjung ke sebuah toko minimarket(emangnya kenapa orang buka 24 jam -_-“). Ku buka resleting jaket rider hitamku sampai terlihat kaos biru yang garang. Kurapihkan kerah jaket ini. Kuberjalan dengan gagah menuju gerbang Alfamart. Bahkan setiap langkah kakiku membuat angin berhembus semakin kencang dan menghembuskan rambut pony belah kananku. Kulipat kedua tangan  ke depan dadaku dengan keren. Soalnya. Anginnya dingin banget.Uuuuu….. Tak lama kemudian, kuinjak keset Wellcome tanda selamat datang dan kudorong pintu toko itu dengan perlahan. Ku berjalan menuju sisi sebelah kiri toko. Kutatap Coca Cola, Sprite, Fanta, Mix Max, Bir Bintang, sampai Bir Hitam. Ku tarik kulkas,kuambil dan ku genggam erat bir hitam itu. Kudekatkan ke mulutku hingga hanya beberapa milimeter dari bibir. Kutempelkan kalengnya dan kurasakan getaran- getaran minuman keras kejantanan.Bahwa … “Kalengnya dingin banget bo’!”. Akhirnya, kuletakan kembali ke tempat peraduan dan kututup kulkasnya. Ku menuju ke samping kulkas dan kuambil sesuatu yang lebih keras lagi. Ku pikir yang ini harus dimiliki setiap laki- laki jantan. Dan kuambil satu untuk kumiliki sekarang. Kuangkat tangan kiriku dan kugenggam benda itu. Kurasakan kegundahanku berkurang.

Pria macam apa kamu. Mengendarai motormu. Mengegas hingga kecepatan maksimum. Menyakiti diri di tengah udara malam yang kejam. Apa. Sudahkah semua dosa yang kau lakukan semua ini. Membuatmu cukup membuktikan betapa jantannya dirimu. Pun dunia tahu, bahwa kau adalah pria tulen. Apakah karena kamu pemuda? Mencari jati diri? Lalu apa? Mengapa kamu gundah gulanah? Idealisme apa yang ingin kamu ciptakan? Toh kamu juga tak kan memimpin banyak orang? Kamu hanyalah, sosok dengan segala keterasingan. Kamu bukanlah celebritis. Kamu Lone Ranger. Kamu  seorang pendekar sendirian.

Kembali ke realita, kegundahan itu berkurang. Kugenggang benda ini. Keras, pipih, sedikit elastis, meninggi, dan diujungnya terdapat bulu. Ya. Inilah kegundahanku, pencarian jati diri? Ya mungkin juga. Kini ku merasa seperti pria sejati di tengah malam yang romantis. Kugenggam kamu sayang. Sebentar lagi kau kumiliki. Engkaulah Sebatang SIKAT GiGI! Warnanya ungu, dan bulunya belang biru putih. Yeah, kubalikan badan dan ku lanjut melangkah dengan perlahan. Kutatap deretan minuman tadi lengkap dengan es krim. Inginnya kubeli tapi Ini bukan pesta! Kutatap sneak berwarna warni. Ah.. Sperti anak kecil saja! Kutatap nugget siap saji. Hmmm… Memangnya aku ibu- ibu! Kutatap obat- obatan. Yeah.. Aku memang sedikit sakit, tapi aku bukan  drug freak! Hingga hampir di depan kasir, kutatap majalah FHM, dan Playboy. Ahhh… itu hanya khayalanku saja! Akhirnya sampai di depan meja kasir. Kukeluarkan dengan pasti dompetku. Tiga kertas lusuh hijau kukeluarkan ditambah tiga keping logam. Hanyalah seorang pria sejati yang harus merelakan kepergian harta ini. Karena setiap pria sejati tahu. Bahwa pencarian bukanlah materil, tapi sesuatu yang lebih filosofis.  

Selama transaksi berlangsung, tak lama kemudian ku seperti memasuki nuansa Western.Layaknya Sheriff yang memberi harta kepada bartender yang juga penjual senjata. Dan uang yang kuberikan ialah uang hasil peperanganmelawan Apache. Tak lama kemudian bartender itu bertanya ,”Apakah segenggam benda ini sudah cukup tuan.” Akupun menjawab ,”Segenggam benda ini sudah cukup membuat kegundahan seorang sherif terbaik di kota ini hilang. Tak perlu kubeli yang lain. Terlalu banyak senjata hanya membuatku menjadi pecundang.” Ku tinggalkan bartender itu, meninggalkan mereka dengan penuh tanda tanya. Bartender itu mulutnya menganga. Tak lama kemudian teman bartendernya datang. Saling bertatap muka mereka. Di sisi lain, secara perlahan kunaiki kuda ku. Dan kumenghilang di balik kegelapan dunia. Kembali lagi kepada bartender yang sedari tadi masih menganga. Kini mereka tersadar dan selangkah dua langkah mereka berdua mengintip keluar toko. Melihat Sheriff terbaik di kota itu pergi. Terjadilah perbincangan antara keduanya. Bartender satu ,”Hei Dude!.” Bartender kedua menjawab “What’s the matter Friend?” “Did u know him?”  “Yeah. So, what’s the point about that sheriff?” “Oke. I think he is one and only.” “Whathefuck?” “He is POLET

Seorang sheriff itu. Pergi dengan kudanya mengarungi malam. Disarungkan senjatanya di kantung celana sebelah kanan. Diapun bersiul dengan penuh kebahagiaan. Dan bulan pun membantu dengan sorot cahayanya yang sendu. The End.

Polet = Pelit . “Bahasa Karanganyar” (keto’e ngono)

NB = Kisah Nyata yang dihiperbolakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar