Malam,
sebuah masa di mana setiap insan kembali
ke istana mereka. Merebahkan diri duduk di sofa yang empuk sembari
menggendutkan perut nonton sinetron dengan kacang rebus di genggaman tangan
kiri mereka, atau mungkin cukup mengakhiri hari di alas tidur yang empuk untuk
bermimpi indah. Seluruh pompa darah andrenalin berkurang menuju zona gelombang yang
rendah mengurangi fluktuasi yang labil. Insan beristirahat merenggangkan
syaraf- syaraf tegang mereka. Melupakan kejadian buruk tadi siang, atau cukup
mengenang keindahannya dalam mimpi panjang.
Mereka, tak lebih bagai
perkutut yang terlalu nyaman hidup di dalam sangkar. Begitu nyaman dengan
suapan- suapan takdir. Terpejam, terbelalak dengan sistematika kehidupan yang
serupa. Tidak sadar bahwa mereka terkurung di dalam kotak normalitas. Mereka
hanyalah mendekam di dalam sangkar. Lupa bahwa hidup mereka berada pada pola
pikir yang sempit. Lupa, bahwa mereka tidak kemana- mana, hanyalah menjadi
budak dari stir- stir kebijaksanaan yang terpola dalam long term memory mereka.
Mereka terpenjara!
Lahir dari realita ini, yang
begitu sempit, begitu apatis. Ku bebaskan diri keluar kotak, mencuri kunci dan
kabur merdeka. Menghirup sejuknya kebebasan. Kini, digenggaman kedua tanganku
ini. Butiran- butiran ide perubahan kugenggam erat- erat.Kuangkat kaki kananku,
kulangkahkan kaki pada langkah pertama. Ku tersenyum dan kuangkat tangan
kananku dalam genggaman. Sebuah klausa “REVOLUSI!” kukatakan dengan sangat…
sangaaat… sannngaaaaattt pasti. KuKATAKAN Klausa iTU dengan SEMANGAT 45! “ INI…
IBUUU…. BUUDIIII!” Eiiiiiiiiiiiitsss..?
Bukanlah sebuah revolusionis
akademik namanya bila terlalu apatis dengan kegundahan. Sudah kukatakan klausa
REVOLUSI yang kukatakan dari lubuk hati yang paling dalam. Maka malam itu, tepatnya
Jam 23.00 WIB. Ketika semua orang sudah apatis dengan dinamika. Memilih
istirahat di dalam sangkar- sangkar perkutut mereka. Kulajukan motor belalang
tempur bebaskan diriku halau kegundahan hati. Kugas motor dan kuhajar hingga
kecepatan maksimum. Setiap tetes bensin yang terbakar, berubah menjadi
akomodasi dalam detik- detik penghapusan kegalauan. Hingga akhirnya kurem
motorku tepat di sebuah bangunan.
Alfamart, ya.. ku standartkan
motorku. Pria macam apa yang berkeliaran malam- malam begini, berani beraninya berkunjung
ke sebuah toko minimarket(emangnya kenapa orang buka 24 jam -_-“). Ku buka
resleting jaket rider hitamku sampai terlihat kaos biru yang garang. Kurapihkan
kerah jaket ini. Kuberjalan dengan gagah menuju gerbang Alfamart. Bahkan setiap
langkah kakiku membuat angin berhembus semakin kencang dan menghembuskan rambut
pony belah kananku. Kulipat kedua tangan
ke depan dadaku dengan keren. Soalnya. Anginnya dingin banget.Uuuuu….. Tak
lama kemudian, kuinjak keset Wellcome tanda selamat datang dan kudorong pintu
toko itu dengan perlahan. Ku berjalan menuju sisi sebelah kiri toko. Kutatap
Coca Cola, Sprite, Fanta, Mix Max, Bir Bintang, sampai Bir Hitam. Ku tarik
kulkas,kuambil dan ku genggam erat bir hitam itu. Kudekatkan ke mulutku hingga
hanya beberapa milimeter dari bibir. Kutempelkan kalengnya dan kurasakan
getaran- getaran minuman keras kejantanan.Bahwa … “Kalengnya dingin banget bo’!”.
Akhirnya, kuletakan kembali ke tempat peraduan dan kututup kulkasnya. Ku menuju
ke samping kulkas dan kuambil sesuatu yang lebih keras lagi. Ku pikir yang ini
harus dimiliki setiap laki- laki jantan. Dan kuambil satu untuk kumiliki
sekarang. Kuangkat tangan kiriku dan kugenggam benda itu. Kurasakan
kegundahanku berkurang.
Pria macam apa kamu.
Mengendarai motormu. Mengegas hingga kecepatan maksimum. Menyakiti diri di
tengah udara malam yang kejam. Apa. Sudahkah semua dosa yang kau lakukan semua
ini. Membuatmu cukup membuktikan betapa jantannya dirimu. Pun dunia tahu, bahwa
kau adalah pria tulen. Apakah karena kamu pemuda? Mencari jati diri? Lalu apa?
Mengapa kamu gundah gulanah? Idealisme apa yang ingin kamu ciptakan? Toh kamu
juga tak kan memimpin banyak orang? Kamu hanyalah, sosok dengan segala
keterasingan. Kamu bukanlah celebritis. Kamu Lone Ranger. Kamu seorang pendekar sendirian.
Kembali ke realita,
kegundahan itu berkurang. Kugenggang benda ini. Keras, pipih, sedikit elastis, meninggi,
dan diujungnya terdapat bulu. Ya. Inilah kegundahanku, pencarian jati diri? Ya
mungkin juga. Kini ku merasa seperti pria sejati di tengah malam yang romantis.
Kugenggam kamu sayang. Sebentar lagi kau kumiliki. Engkaulah Sebatang SIKAT
GiGI! Warnanya ungu, dan bulunya belang biru putih. Yeah, kubalikan badan dan
ku lanjut melangkah dengan perlahan. Kutatap deretan minuman tadi lengkap
dengan es krim. Inginnya kubeli tapi Ini
bukan pesta! Kutatap sneak
berwarna warni. Ah.. Sperti anak kecil
saja! Kutatap nugget siap saji. Hmmm… Memangnya
aku ibu- ibu! Kutatap obat- obatan. Yeah.. Aku memang sedikit sakit, tapi aku bukan drug freak! Hingga hampir di depan kasir,
kutatap majalah FHM, dan Playboy. Ahhh…
itu hanya khayalanku saja! Akhirnya sampai di depan meja kasir. Kukeluarkan
dengan pasti dompetku. Tiga kertas lusuh hijau kukeluarkan ditambah tiga keping
logam. Hanyalah seorang pria sejati yang harus merelakan kepergian harta ini.
Karena setiap pria sejati tahu. Bahwa pencarian bukanlah materil, tapi sesuatu
yang lebih filosofis.
Selama transaksi berlangsung,
tak lama kemudian ku seperti memasuki nuansa Western.Layaknya Sheriff yang memberi harta kepada bartender yang
juga penjual senjata. Dan uang yang kuberikan ialah uang hasil
peperanganmelawan Apache. Tak lama
kemudian bartender itu bertanya ,”Apakah segenggam benda ini sudah cukup tuan.”
Akupun menjawab ,”Segenggam benda ini sudah cukup membuat kegundahan seorang
sherif terbaik di kota ini hilang. Tak perlu kubeli yang lain. Terlalu banyak
senjata hanya membuatku menjadi pecundang.” Ku tinggalkan bartender itu,
meninggalkan mereka dengan penuh tanda tanya. Bartender itu mulutnya menganga.
Tak lama kemudian teman bartendernya datang. Saling bertatap muka mereka. Di
sisi lain, secara perlahan kunaiki kuda ku. Dan kumenghilang di balik kegelapan
dunia. Kembali lagi kepada bartender yang sedari tadi masih menganga. Kini
mereka tersadar dan selangkah dua langkah mereka berdua mengintip keluar toko. Melihat
Sheriff terbaik di kota itu pergi. Terjadilah perbincangan antara keduanya.
Bartender satu ,”Hei Dude!.”
Bartender kedua menjawab “What’s the matter Friend?” “Did u know him?” “Yeah. So,
what’s the point about that sheriff?” “Oke.
I think he is one and only.” “Whathefuck?” “He is POLET”
Seorang sheriff itu. Pergi
dengan kudanya mengarungi malam. Disarungkan senjatanya di kantung celana sebelah
kanan. Diapun bersiul dengan penuh kebahagiaan. Dan bulan pun membantu dengan
sorot cahayanya yang sendu. The End.
Polet = Pelit . “Bahasa
Karanganyar” (keto’e ngono)
NB = Kisah Nyata yang
dihiperbolakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar