Move On : Jalan Setapak
Rumput Padang Golf
Move on merupakan ungkapan yang tepat untuk menunjukan
sebuah sikap yang meninggalkan masa lalu yang kelam, ke masa depan yang lebih
cerah. Move on selalu menempel di kehidupan kita karena move on seperti takdir
yang ada dan kita jalani. Move on layaknya roda yang terus berputar. Terkadang
putarannya memenangkan kita di atas, namun kadang menjatuhkan kita di nadir
terbawah. Ketika kita berada di titik terbawah, move on takdir laksana bisikan
alam yang mendorong kita untuk menggerakan roda kehidupan kita ke titik atas.
Peluh, letih dan sakit kita rasakan selama kita mendorong titik kita untuk
memutarnya ke atas. Namun, begitulah hidup. Proses peluh, letih dan sakit yang
kita jalani merupakan modal kisah yang dapat menjadi petuah berguna bagi orang
lain saat kita berhasil di titik teratas. Hidup ini menjadi menarik ketika kita
diuji di titik roda terendah, memuliakan kita saat mencapai sukses di titik
roda teratas, dan menorehkan kisah perjuangan yang bermakna saat kebangkitan
kita dari titik terendah menuju teratas.
Kisah itu bermula di sebuah jalan panjang
lapangan golf Halim. Antara aku dan kedua sahabatku. Toro dan Radit. Kita,
lelaki SMP berusia 14 tahun yang comel mengenakan seragam PMR. Berjalan kaki di
rumput- rumput depan lapangan golf. Diselimuti cahaya mentari senja yang
membahana. Langkah- langkah kaki itu, tidak melangkah di trotoar, namun di setapaknya
rumput luar padang golf yang tak seorang pun ingin melaluinya. Bahkan
terkadang, langkah kami sempat terhenti saat serombongan kodok besar melompat-
lompat menghadang kami. Satu per satu angkutan umum berwarna biru berhenti
untuk menawari kami menumpang, namun kami selalu saja menolak. Bukankah cahaya senja
ini begitu indah untuk kita nikmati? Kami terus melangkahkan kaki dan masih
saja bercerita banyak hal. Tentu dengan kisah- kisah jenaka cilik seumuran
kami. Jalur rumput padang golf dan setitik cahaya senja yang menyelimuti kami
bak perjalanan panjang kehidupan. Kami tahu, sangat letih melangkahkan kaki di
kala pulang latihan PMR sore itu. Apalagi perjalanan menuju gardu pangkalan
angkutan Halim terlihat begitu jauh. Namun kebersamaan yang terjalin, dan
semangat yang masih saja tersisa dilelahnya latihan, mendorong kami untuk tak
peduli betapa peluhnya melangkahkan kaki sampai ke tujuan. Kami hanya
menikmati, di ujung rumput padang golf yang penuh kodok di sana sini terdapat
setitik cahaya menanti. Cahaya itu selayaknya kami ungkapkan dalam hati, itu
tujuan kami. Itu impian yang akan kami capai.
Mengingat masa lampau. Tak ada kekhawatiran
hidup. Selesai sekolah yang bermalas- malasan. Langsung main games di komputer.
Kala itu di rumah Toro, dekat gardu. Kerap kami bertiga menghabiskan waktu
dengan bermain games Worms Armagedon di pentium 3 milik Toro. Hingga games itu
berakhir saat komputer Toro kena virus, diinstal ulang dan games itu lenyap tak
ada yang bisa menginstalnya. Kebahagiaan kami berlanjut ketika kami mulai mengenal
games LAN seperti Counter Strike, Age of Empire, Warcraft hingga games Online
seperti Ragnarok, Gunbound. Kami pun serasa melihat dunia lebih luas dan
mengenal warnet. Hingga puncaknya bersama Toro. Pulang jam 12 malam dan
kejadian mengejutkan terjadi. Kami dimarahi orang tua kami. Di sisi lain, bersama
Radit. Naik angkot ke Pondok Kopi PMR cabang Jakarta Timur. Bayar angkot yang
hanya setengah harga. Hingga berujung pada preman Kampung Melayu yang sempat
menjadikan kami buronan. Tapi begitulah hidup pada saat itu. Kisah- kisah nakal
yang hanya berujung pada candaan di senja setapak pinggir lapangan Golf. Bukan
bahan serius yang menekan kami.
Seragam dengan bertuliskan PMR 128 yang
membalut tubuh kami. Senyum hangat ibu Tunni. Pembina PMR yang selalu ramah
walau kriput sudah menghiasi wajah di usia senjanya. Atau mungkin, wajah seram
pak Bogel yang selalu menjadi seteru abadi Ibu Tunni. Sosok garang yang sedikit
playboy yang sukanya menghentak- hentakan blandar PMR sebagai alat untuk mendisiplinkan
siswa saat piket. Kisah- kisah indah saat latihan. 3..2..1.. dan -1..-2..SETERUSNYA!
teriakan galak kakak senior PMR. Setiap minus hitungannya pertanda push up di
lapangan panas. Sebuah idealisme budaya organisasi PMR 128 yang buat geleng- geleng
kepala PMR se- Jakarta Timur kala itu. Teori tentang Jean Henry Dunan,
pertolongan pertama, biday, mitela, tandu, blandar, bambu, tali tambang, perawatan
keluarga, dan segala bentuk latihan keras kala itu. Nampak melelahkan. Namun
tak sedemikian menyebalkannya. Setidaknya semua tampak menyenangkan ketika
kami; alumni, senior dan junior dapat menikmati mi bakso yang lewat di depan
SMP 128, atau paling tidak kami dapat tertawa bersama saling menghina antara
satu dengan yang lainnya. Sosok- sosok yang menyenangkan dari kawan- kawan PMR.
Kisah- kisah luar biasa dari Kak Agung, atau yang lebih luar biasanya dari alm.
Kak Renza yang super galak. Petuah- petuah mereka yang membuat kami lebih
termotivasi untuk jadi lebih baik. Lomba Jumbara. Ilmu baru, pengalaman baru,
cerita baru, kawan baru. Pertemuan kami dengan teman baru ; Bowo, Nizar, Rizki,
dll. Menorehkan kisah indah di ujung lomba Jumbara Cibubur kala itu. Ulang
tahunku! Dan menjadi Juara 1 se-DKI JAKARTA! Setidaknya juga tak tampak
menyenangkan setelah aku menghilangkan handphone ibuku.
Berkeluh kesalah kamu. Dan kumismu akan tetap
memanjang. Siap, atau tidak kamu akan move on. Karena move on bukan sebuah
pilihan. Tapi sebuah takdir yang akan kamu jalani. Lihatlah kamu 9 tahun yang
lalu. Jalan setapak di padang golf yang kamu lalui bersama sahabatmu. Melihat
matahari senja sebagai tujuan. Kisah- kisah nakal, dan kisah perjuangan PMR
yang terlontar di sela langkah- langkah kaki bersama sahabatmu. Menjadikan
semuanya tampak seru dan menyenangkan. Menjadikan semuanya terasa untuk tidak
terasa. Bahwa langkah- langkah kaki yang kami jalani tiba- tiba saja sampai di daerah
gardu. Sebuah tujuan tercapai tanpa terasa lelah! Semuanya dilakukan dengan
suka cita.
2013. Saat aku kembali bertemu mereka. Radit
dan Toro. Yang kala itu semua move on pada bagian kehidupannya masing- masing.
Melegakan rasanya melihat Radit yang kala itu sudah menikah, melahirkan anak
pertamanya yang dipanggil Cila. Lalu yang melegakan lagi ketika Toro yang sudah
menjadi Polisi. Anak kurus, kecil, culun yang pertama kali aku mengenalnya di
lorong 1-5 di SMP 128 kini telah menikah! Tersenyumlah saat itu bahwa semua
kawanku mulai mem move on kan lagi
roda- roda kehidupan agar sampai di tahap teratas. Aku hanya bisa berdo’a, agar
setiap langkah kehidupan yang kalian jalani, keiklasan dan kebahagiaan
menyertai kalian. Lalu bagaimana dengan aku? Laki- laki dengan gelar sarjana
psikologi dengan segudang sertifikat yang menempel di curriculum vitae. Segala
bentuk prestasi yang terus aku cuapkan dengan manis di depan interviewer.
Kehidupan sendiriku di depan laptop berdebu. Aku tahu, mungkin roda kehidupan
hari ini berada di titik bawah. Namun, aku berjanji, tak akan kubiarkan lama
titik itu berada di bawah. Aku terus melangkah walau peluh menghantam hati. Aku
move on!
Kehidupan itu indah kawan. Laksana setapak
rumput panjang berkodok yang tak kupedulikan. Lantaran pelukan senja terlalu
indah untuk dilewatkan. Berceritalah bersuka cita, cahayanya telah menanti di
ujung perjalanan.
Gudab
mantapp
BalasHapusweh sip
Hapus