Jumat, 08 Februari 2013

Angsa Putih


Seketika itu, dua orang laki- laki bertubuh tinggi besar sudah berada di dalam ruang tamu nenek Suci. Salah seorangnya sudah mulai membuka laci mencari- cari barang berharga. Dirinya berharap mendapat surat berharga seperti akte rumah sebagai bahan jaminan. Seorangnya lagi dengan wajah masamnya berdiri di depan nenek Suci hendak menggertak dan mengancam sang nenek yang mulai rapuh itu. Merekalah Debt Collector utusan Bank Pluto yang tangkas menangkap para nasabah yang tenggelam dalam urusan utang piutang. Sayangnya, sang nenek harus menghadapi bencana ini seorang diri setelah suami yang dicintainya meninggal karena kecelakaan mobil.


 Di sebuah kursi goyang yang mulai reot. Nenek Suci duduk dengan punggungnya yang dibungkukan. Jari jemarinya bergoyang- goyang gelisah. Sosok keriputnya yang mulai menghiasi wajahnya, berpadu dengan kesan melankolis lewat bibirnya yang melengkung ke atas. Keringat dinginnya keluar dari sela- sela rambut jambangnya yang beruban. Sesaat kemudian diangkat tangan kanan untuk mengernyitkan keningnya. Ditundukkan wajahnya sedih bercampur gelisah. Sembari kejiwaannya yang semakin di bawah titik nadir menahan sedih, pemuda Debt collector itu terus menghujaninya dengan cibiran yang langsung menusuk ke dalam syaraf- syaraf otaknya. Logikanya yang mulai melemah terus saja menjawab apa adanya membuat pria besar itu semakin mengganas.

“Hei! Kau tau tidak! Bahkan sekelas preman pasar Jati Negara saja, telah kubuat dia menjadi kecoa pengecut! Kau hanya nenek tua renta bisanya hanya mengelak dan terus mengelak. Kubuat kau jadi kecoa tua baru tahu rasa kau!” Jimbrong, begitulah panggilan jalanannya. Lelaki setengah gondrong dengan codet di pipinya. Dialah sang algojo preman yang paling ditakuti se- DKI Jakarta. Setelan jas hitam layaknya petugas yang hendak memburu teroris menjadikan dia memiliki coercive power yang berhak menyakiti orang serenta nenek- nenek menjadi nenek presto.

“Ma..maaf tuan. Saya belum mampu membayar semua. Bagaimana kalau saya cicil?” Nenek Suci menjawabnya dengan terbata- bata karena panik. “Haah.Omong kosong kamu, dasar! Tidak usah berkilah. Nenek tua, kau akan tetap memberiku sepeser uang untuk kau lunasi!” Wajah Jimbrong yang seram semakin mendekat ke wajah nenek Suci. Tatapannya memburu tajam ke mata nenek Suci yang wajahnya semakin mengkerut takut. “Tet..tapi tuan. Tak ada uang yang dapat kuberi untukmu. Pergilah tuan dan aku akan bekerja agar hutang itu lunas.” Mendengar keluhan sang nenek, Jimbrong malah semakin muntab. Tangan kanan raksasanya menggenggam sisi kanan lengan kursi goyang hingga goyangannya berhenti berputar, sedangkan tangan kirinya mulai menunjuk hidung nenek Suci. Matanya melotot tajam memandang nenek yang ketakutan.

“Kampret sialan kamu. Kau usir aku! Lihat itu! Kau bentangkan kolam renang yang luas. Busuknya kamu berhutang seratus juta dan tak kau kembalikan kepada kami! Andai kau pemuda, sudah kurontokan gigi busukmu dengan jemari kasarku! Sayangnya tak ada gigi yang dapat kucabut hari ini karena hidupmu yang busuk sudah memakan semua gigimu.” Jimbrong yang muntab semakin mendesak nenek.”Hei Parjo! Mana? Lama sekali kau geledah laci- laci itu. Tak adakah barang berharga yang bisa kita bawa pulang!” Jimbrong yang mulai kesal meneriaki Parjo yang sedari tadi sibuk menggeledah laci-laci untuk mencari benda berharga untuk dibawanya pulang. “Ehm.Anu Jim. Semuanya tak ada yang berharga. Sedari tadi hanya kertas- kertas tak berguna. Paling adanya cuman dua sabun dan nih ada sebatang sisir, kamu mau?”

Parjo lelaki kurus yang setia temani rekan monsternya. Dia hanyalah sosok lelaki lemah yang sempat kuliah di bidang akutansi hingga akhirnya drop out karena menghamili gadis wakil rektor di kampusnya. Kehadirannya di sini karena pengetahuan kelamnya akan untung rugi bila barang- barang sitaan sampai dijual. Apapun sebutannya, dalam lingkup Debt Collector dia adalah konselor keuangan.

“Ba.baik tuan. Aku mengaku salah. Aku akui bahwa aku baru pertama kali mendengar setelan tuan- tuan kemari. Ada satu barang berharga di rumah ini. Sebuah koper yang aku simpan di ruang sebelah. Terhimpit di bawah kursi hijau itu. ” Melihat seisi ruangan makin tak karuan akhirnya sang nenek memberi solusi. Paijo pun mulai mencari koper yang dimaksud. Setelah didapatkan Paijo langsung membawa kehadapan Jimbrong dan sang nenek. “Baik nek. Koper ini terkunci. Jika kau menipu maka jalur hukum bertindak.” Sang konselor mengancam. “Tidak tuan. Tidak, anda bisa kemari lagi dan menghukum saya bila saya menipu anda. Saya akan berikan kode koper ini dan anda bisa membawanya pergi. Tolong pergilah, itu sungguh semua barang yang saya miliki dan di dalamnya terdapat surat mengenai keberadaan rumah dan kolam renang ini.” Wajah sang nenek memerah, matanya berair, keringatnya kini membasahi tubuhnya yang renta.

“Ok nenek. Jika kamu menipu kami. Sungguh hal mengerikan menimpamu! Ingat nenek, usiamu tak akan lama terlebih bila kamu bertemu denganku lagi!” Seraya emosi Jimbrong yang kian menurun, seraya itu pula diangkatnya badan nenek dan sang nenek berjalan membungkuk tertatih- tatih untuk mengambil secarik kertas dan pulpen. Di tulisnya kode koper itu hingga serah terima telah sepakat, kedua Debt Collector itupun pergi berlalu tanpa permisi.

BROOOT..TUUUUT.CRIT..AH.LEGAA! Sang nenek tersenyum di balik sang surya yang semakin meninggi. “Sialan, sedari tadi aku menahan kentut, kedua pemuda tolol itu terus saja menggangguku. Akhirnya kepergiannya membuatku menjadi diri sendiri.” Nenek Suci membungkukan badan hendak duduk di kursi goyangnya. Ia menikmati kursi goyangnya hingga tak sadar sosok pemuda dengan celana renang berdiri disampingnya. “Nek, beli tiket renang satu. Tumben kog aku sendirian?” Pemuda itu bertanya keheranan. “Ah tadi pemuda bodoh, sekarang kamu lagi yang tak melihat tanda “LIBUR” di depan. Hari ini kepemilikan kolam renang berpindah ke orang lain. Uh, sakit perut gara- gara sarapan pagi beserta surat tanda terima kasih itu dibawa pergi oleh dua pemuda bodoh. Besok aku pergi sebagai warga Singapure. Nak, selamat! Atas kemenanganku, kuizinkan kau berenang sepuasmu gratis.”

Nenek Suci duduk bersandar di kursi goyangnya yang rapuh. Flare matahari membentuk siluet senyuman sang Legend. Sembari menikmati remaja sixpack yang mengayuhkan tangannya berenang, dihirupnya udara dalam- dalam dengan penuh kenikmatan. Sang nenek pun berkata ,”Kawan muda, hidup itu sederhana. Andai kau mau berfikir.” Hembusan angin membelai wajah senyumnya dan Oblada Obladi, musik The Beatles mengalun merdu, Life must go on.

Gudab 2012

6 komentar:

  1. lagi suka yang satire 2 ya mas?

    kepingin juga bisa nulis seperti ini...
    salam silaturahim http://faridwajdi.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah malah yg ini kurang nyatir..coba baca yg obrolan bar segmen 4 reuni tuh emang nyatir hihihi..makasih ya udah main2 ke mari

      Hapus