Kamis, 20 Juni 2013

Move On : Jalan Setapak Rumput Padang Golf


Move On : Jalan Setapak Rumput Padang Golf



Move on merupakan ungkapan yang tepat untuk menunjukan sebuah sikap yang meninggalkan masa lalu yang kelam, ke masa depan yang lebih cerah. Move on selalu menempel di kehidupan kita karena move on seperti takdir yang ada dan kita jalani. Move on layaknya roda yang terus berputar. Terkadang putarannya memenangkan kita di atas, namun kadang menjatuhkan kita di nadir terbawah. Ketika kita berada di titik terbawah, move on takdir laksana bisikan alam yang mendorong kita untuk menggerakan roda kehidupan kita ke titik atas. Peluh, letih dan sakit kita rasakan selama kita mendorong titik kita untuk memutarnya ke atas. Namun, begitulah hidup. Proses peluh, letih dan sakit yang kita jalani merupakan modal kisah yang dapat menjadi petuah berguna bagi orang lain saat kita berhasil di titik teratas. Hidup ini menjadi menarik ketika kita diuji di titik roda terendah, memuliakan kita saat mencapai sukses di titik roda teratas, dan menorehkan kisah perjuangan yang bermakna saat kebangkitan kita dari titik terendah menuju teratas.


Kisah itu bermula di sebuah jalan panjang lapangan golf Halim. Antara aku dan kedua sahabatku. Toro dan Radit. Kita, lelaki SMP berusia 14 tahun yang comel mengenakan seragam PMR. Berjalan kaki di rumput- rumput depan lapangan golf. Diselimuti cahaya mentari senja yang membahana. Langkah- langkah kaki itu, tidak melangkah di trotoar, namun di setapaknya rumput luar padang golf yang tak seorang pun ingin melaluinya. Bahkan terkadang, langkah kami sempat terhenti saat serombongan kodok besar melompat- lompat menghadang kami. Satu per satu angkutan umum berwarna biru berhenti untuk menawari kami menumpang, namun kami selalu saja menolak. Bukankah cahaya senja ini begitu indah untuk kita nikmati? Kami terus melangkahkan kaki dan masih saja bercerita banyak hal. Tentu dengan kisah- kisah jenaka cilik seumuran kami. Jalur rumput padang golf dan setitik cahaya senja yang menyelimuti kami bak perjalanan panjang kehidupan. Kami tahu, sangat letih melangkahkan kaki di kala pulang latihan PMR sore itu. Apalagi perjalanan menuju gardu pangkalan angkutan Halim terlihat begitu jauh. Namun kebersamaan yang terjalin, dan semangat yang masih saja tersisa dilelahnya latihan, mendorong kami untuk tak peduli betapa peluhnya melangkahkan kaki sampai ke tujuan. Kami hanya menikmati, di ujung rumput padang golf yang penuh kodok di sana sini terdapat setitik cahaya menanti. Cahaya itu selayaknya kami ungkapkan dalam hati, itu tujuan kami. Itu impian yang akan kami capai.
 
Kiri ke Kanan; kaos biru kak fajar, kukuh, sinta, toro, radit, gw (Aksi Drama)
Mengingat masa lampau. Tak ada kekhawatiran hidup. Selesai sekolah yang bermalas- malasan. Langsung main games di komputer. Kala itu di rumah Toro, dekat gardu. Kerap kami bertiga menghabiskan waktu dengan bermain games Worms Armagedon di pentium 3 milik Toro. Hingga games itu berakhir saat komputer Toro kena virus, diinstal ulang dan games itu lenyap tak ada yang bisa menginstalnya. Kebahagiaan kami berlanjut ketika kami mulai mengenal games LAN seperti Counter Strike, Age of Empire, Warcraft hingga games Online seperti Ragnarok, Gunbound. Kami pun serasa melihat dunia lebih luas dan mengenal warnet. Hingga puncaknya bersama Toro. Pulang jam 12 malam dan kejadian mengejutkan terjadi. Kami dimarahi orang tua kami. Di sisi lain, bersama Radit. Naik angkot ke Pondok Kopi PMR cabang Jakarta Timur. Bayar angkot yang hanya setengah harga. Hingga berujung pada preman Kampung Melayu yang sempat menjadikan kami buronan. Tapi begitulah hidup pada saat itu. Kisah- kisah nakal yang hanya berujung pada candaan di senja setapak pinggir lapangan Golf. Bukan bahan serius yang menekan kami.
 
gw, toro, bowo, radit, nizar (tahun 2013)
Seragam dengan bertuliskan PMR 128 yang membalut tubuh kami. Senyum hangat ibu Tunni. Pembina PMR yang selalu ramah walau kriput sudah menghiasi wajah di usia senjanya. Atau mungkin, wajah seram pak Bogel yang selalu menjadi seteru abadi Ibu Tunni. Sosok garang yang sedikit playboy yang sukanya menghentak- hentakan blandar PMR sebagai alat untuk mendisiplinkan siswa saat piket. Kisah- kisah indah saat latihan. 3..2..1.. dan -1..-2..SETERUSNYA! teriakan galak kakak senior PMR. Setiap minus hitungannya pertanda push up di lapangan panas. Sebuah idealisme budaya organisasi PMR 128 yang buat geleng- geleng kepala PMR se- Jakarta Timur kala itu. Teori tentang Jean Henry Dunan, pertolongan pertama, biday, mitela, tandu, blandar, bambu, tali tambang, perawatan keluarga, dan segala bentuk latihan keras kala itu. Nampak melelahkan. Namun tak sedemikian menyebalkannya. Setidaknya semua tampak menyenangkan ketika kami; alumni, senior dan junior dapat menikmati mi bakso yang lewat di depan SMP 128, atau paling tidak kami dapat tertawa bersama saling menghina antara satu dengan yang lainnya. Sosok- sosok yang menyenangkan dari kawan- kawan PMR. Kisah- kisah luar biasa dari Kak Agung, atau yang lebih luar biasanya dari alm. Kak Renza yang super galak. Petuah- petuah mereka yang membuat kami lebih termotivasi untuk jadi lebih baik. Lomba Jumbara. Ilmu baru, pengalaman baru, cerita baru, kawan baru. Pertemuan kami dengan teman baru ; Bowo, Nizar, Rizki, dll. Menorehkan kisah indah di ujung lomba Jumbara Cibubur kala itu. Ulang tahunku! Dan menjadi Juara 1 se-DKI JAKARTA! Setidaknya juga tak tampak menyenangkan setelah aku menghilangkan handphone ibuku.


Berkeluh kesalah kamu. Dan kumismu akan tetap memanjang. Siap, atau tidak kamu akan move on. Karena move on bukan sebuah pilihan. Tapi sebuah takdir yang akan kamu jalani. Lihatlah kamu 9 tahun yang lalu. Jalan setapak di padang golf yang kamu lalui bersama sahabatmu. Melihat matahari senja sebagai tujuan. Kisah- kisah nakal, dan kisah perjuangan PMR yang terlontar di sela langkah- langkah kaki bersama sahabatmu. Menjadikan semuanya tampak seru dan menyenangkan. Menjadikan semuanya terasa untuk tidak terasa. Bahwa langkah- langkah kaki yang kami jalani tiba- tiba saja sampai di daerah gardu. Sebuah tujuan tercapai tanpa terasa lelah! Semuanya dilakukan dengan suka cita.

2013. Saat aku kembali bertemu mereka. Radit dan Toro. Yang kala itu semua move on pada bagian kehidupannya masing- masing. Melegakan rasanya melihat Radit yang kala itu sudah menikah, melahirkan anak pertamanya yang dipanggil Cila. Lalu yang melegakan lagi ketika Toro yang sudah menjadi Polisi. Anak kurus, kecil, culun yang pertama kali aku mengenalnya di lorong 1-5 di SMP 128 kini telah menikah! Tersenyumlah saat itu bahwa semua kawanku mulai mem move on kan lagi roda- roda kehidupan agar sampai di tahap teratas. Aku hanya bisa berdo’a, agar setiap langkah kehidupan yang kalian jalani, keiklasan dan kebahagiaan menyertai kalian. Lalu bagaimana dengan aku? Laki- laki dengan gelar sarjana psikologi dengan segudang sertifikat yang menempel di curriculum vitae. Segala bentuk prestasi yang terus aku cuapkan dengan manis di depan interviewer. Kehidupan sendiriku di depan laptop berdebu. Aku tahu, mungkin roda kehidupan hari ini berada di titik bawah. Namun, aku berjanji, tak akan kubiarkan lama titik itu berada di bawah. Aku terus melangkah walau peluh menghantam hati. Aku move on!

Kehidupan itu indah kawan. Laksana setapak rumput panjang berkodok yang tak kupedulikan. Lantaran pelukan senja terlalu indah untuk dilewatkan. Berceritalah bersuka cita, cahayanya telah menanti di ujung perjalanan.  
 
aduh gw kyk salah kostum. Kuis Trivia : hayoo mana istrinya Toro?
Gudab

2 komentar: