Minggu, 11 Agustus 2013

Sudut Pandang yang Terlambat : Sebuah Rancangan Storyscript

DI SETEL LAGUNYA YAK


 

Siang di hari Minggu.

Bola matahari tepat di atas jengkal kepala. Sang mega hanyalah tampak putih mencolok, pun tak kuasa mata memandang silau luasnya angkasa. Jalan raya protokol Jakarta yang selalu macet. Mereka para penduduk yang didominasi penggila kerja, hanyalah diberi kesempatan Minggu untuk jalan- jalan ‘santai’ bersama keluarga. Setidaknya suara- suara merdu klakson mobil motor menambah kesan jalan- jalan santai keluarga di minggu yang cerah.


Di sebuah sesaknya shelter busway, berdirilah seorang perempuan remaja bernama Suci. Jempolnya menekan- nekan smartphonenya lengkap dengan program Android Jelly Beans terbaru. Ia tak peduli lagi dengan gemuruh ramai shelter beruangan putih dan lamanya bus trans Jakarta yang mengangkutnya. Konsentrasinya sudah tertuju di program chatting What’s Up membaur dengan keramaian dunia virtual masa kini.

“AyangQyu” nickname itu muncul di program androidnya. Sang gadis remaja yang berjiwa pinky melengkungkan senyumnya. Tubuhnya bersandar di dinding shelter tak peduli kuman- kuman menempel di punggungnya. Di tambah dengan telinganya yang disumpali headphone berkaret dan lagu ‘Adele – One and Only’ yang didengarkan berulang- ulang. Menambah kesan keapatisannya akan keadaan seneraka shelter busway, seolah berubah menjadi tempat sesurga firdaus, tentu dengan music yang didengarkan mungkin ia bisa sedikit berjoget lenggang bernuansa Jazzy.

“Suciqyu lagy apain. Kog panas panasan di luar.” Tanya AyangQyu.
“Nggak tau yaaang. Si Indri ajag ketemuan..”
“Uuuh..Tapi uci gak sama si kentut Tomo itu khan..”
“Enggak yang. Tenang aja. Aku lagi bete sama cowok ganjen kayak dia. Uuuh. Aku kan lebih pilih kamu J
“Syukur deh. Mudah- mudahan Allah SWT mengerti kesungguhan cinta kita. J
“Iyaaa…weeek.. udah mandi sana.:p”

Belum selesai berasyik- asyikan dengan kekasihnya, trans Jakarta yang dinanti pun datang. What’s Up dari Indri memberi tahu bahwa Indri berada di bus yang baru datang ke shelter Benhill itu. Setelah pintu trans Jakarta terbuka secara hidrolik. Ia pun berdesak- desakan bersama ramai orang lainnya untuk masuk ke  dalam bus tersebut. Masuklah Suci ke dalam trans Jakarta dan dilihatnya Indri yang sudah berdiri dengan kedua tangannya bergelayutan di salah satu pegangan penumpang. Dihampirinya si Indri.

“Hei Ndri. Apa kabar! Lama gak ketemuan yah.” Sapa Suci
“ Iya Ci. Maap ya ngajak lu jalan- jalan minggu gini. Abisnya waktunya cuman ada sekarang.” Basa Basi Indri.
“Nyantai aja Ndri. Kemanapun lu mau jalan- jalan, gua siap nemenin.” Suci pun mendukung Indri. “Lu kog pake baju item- item gini. Apa gak kepanasan Ndri?”
“Iya gak apa- apa Ci. Lagi pas. He he.”

Trans Jakarta melaju di jalur bus way. Macetnya kota metropolitan ini seakan membendung laju semua kendaraan, bahkan di jalur sebebas bus way. Persahabatan baik ke dua gadis belia itu menuju pada perbincangan yang seru. Tak peduli berapa lama waktu yang ditempuhnya ke tujuan yang diingini Indri. Waktu tak memungkinkan mereka selalu bersama. Walau sama- sama bertempat di Jakarta, namun kegiatannya yang mereka jalani hanya memungkinkan untuk bertemu di pekan minggu. Indri yang saat ini sudah bekerja di salah satu rumah sakit dan Suci yang masih kuliah dengan segudang tugas membuat mereka hanya sesekali waktu bertemu. Namun, kali ini Indri hanya ingin mengajak Suci berjalan- jalan ketempat dan tujuan yang tidak diketahui Suci.

“Ah bosen juga ya..kalau jalan- jalan gak bareng Tomo.” Keluh Indri.
“Ngapain juga lu peduli orang macem dia. Gak ada untungnya.” Suci pun menjawab sigap dengan wajah cemberut. Sorot pandangnya terfokus pada smartphonenya.
“Kenapa sih Ci. Kog lu sebel sama dia?”
“Ah kayak lu gak tau model kayak dia aja. Dia tuh deketin gua mulu. Sms gua lah, sok kasih semangat ke gua lah. Senyumannya sok tulus gitu.”
“Lah kan dia sahabat lu? Sahabat gua juga?”
“Tapi yang ini beda Ndri. Ketawan banget modusnya. Gua gak suka dia Ndri. Gua udah punya cowok. Gua takut sama gelagatnya dia.” Suci dengan wajah yang cemberut, matanya masih saja terfokus pada kekasihnya yang tenggelam dalam program what’s up.

Di lain sisi, Indri dengan senyum sendunya memegang pundak Suci. Indri seolah mencari titik raut wajah  Suci yang mengkerut menunduk.
“Hei Ci.. Kita bersahabat udah sangat erat lho.  Kita jalani waktu susah dan senang bersama. Lagipula Tomo kan tempat curhat lu saat elu dan cowok lu sempet putus.”
“Yah Ndri. Perasaan laki- laki siapa yang tahu sih.” Suci kini menaikan nada suaranya. Di tatapnya wajah Indri. “Tomo itu beda. Cara dia kasih support ke gua, cara kita bersalaman saat berpisah, cara dia ngehabisin waktu berdua sama gua. Dia dukung gua seolah- olah ingin deket sama gua. Gua ngerasa gak nyaman Ndri. Kemarin itu kemarin, sekarang gua udah punya cowok!”

“Ci. Dia sayang sama lu, dia juga sayang sama gua. Sayangnya dia layaknya sahabat yang sudah terjalin lama Ci. Ci, sayangnya seorang sahabat itu tanpa pamrih. Dia banyak ngasih waktu terbaiknya buat elu. Seorang sahabat yang baik itu berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan.” Indri memberikan pengertian kepada Suci. “Ci, banyak cinta yang diberikannya untuk lu. Tapi seorang sahabat yang baik memberikan cintanya bukan untuk mendapatkan elu. Gua yakin dia akan berbahagia saat lu berbahagia dengan cowok lu.”

Roda- roda trans Jakarta masih berputar. Shelter demi shelter dilaluinya. Orang- orangpun keluar masuk silih berganti. Namun perdebatan panjang yang dilakukan mereka, membuat mereka tak peduli dengan kosongnya tempat duduk di dekat mereka. Mereka terlanjur asyik bergelantungan dan membicarakan Tomo. Sahabat yang kontroversial.

“ Iya gua tau Ndri! Dia sahabat gua. Kita jalanin waktu bersama. Tapi dia tetap laki- laki. Tetap LAKI- LAKI. Dan dia sampai sekarang masih jomblo. Waktu yang terjalin bersama mengubah hatinya dia. Gua takut dia jatuh cinta sama gua. Gua takut ada masalah lagi. Gua pingin jaga jarak Ndri.” Suci masih saja ngotot dengan pendiriannya.

“Kenapa harus jaga jarak Ci? Sahabat itu tidak terpisahkan oleh ruang dan waktu. Lu bisa putus dengan pacar lu. Tapi lu gak akan bisa putus dengan sahabat lu. Jauh dengan sahabat lu sama saja lu memutuskan tali silaturahmi.”

“Ah capek deh ngomong sama lu Ndri. Dia itu beda. Pokoknya gua males ketemu orang itu lagi!” Suci pun acuh terhadap nasehat sahabatnya. “Lagipula ngapain sih lu ngomongin dia dan lu sebenarnya mau ngajak gua kemana sih?”

Jalur busway menuju pada muara perjalanannya. Kini mereka berdua berhenti di shelter terakhir. Mal Pusat Grosir Cililitan. Mereka berdua pun turun dan melanjutkan perjalanan. Setelah keluar dari Mal, Indri mengajak Suci naik angkot. Indri masih saja tersenyum melihat wajah sahabatnya yang cemberut.

“Ci, perbuatan salah kayak apa sih yang telah diperbuat Tomo?” Tanya Indri.
“Dia salah atas waktu dan kebaikan yang telah diberikannya untuk gua Ndri. Gua gak mengharapkan cintanya.”
“Kenapa salah sih?” Indri pun terbawa emosi.
“Gua bukan poliandri Ndri. Gua punya pilihan. Gua sayang sama cowok gua. Lalu? Gua harus menghabiskan waktu dengan Tomo? Gak mungkin lah.” Suci pun menimpalinya dengan emosi.
“Gak ada yang rugi Ci, menghabiskan waktu bersama keluarga lu. Walau dia bukan darah daging lu. Gak ada yang rugi atas waktu yang terbuang bersama orang yang sayang sama lu. Dan sayangnya itu tanpa pamrih.” Indri hanya bisa menasehati temannya yang keras kepala itu dengan nada yang pasrah.

“Ci, dunia ini memang penuh penyakitan. Banyak lelaki brengsek warnai hidup lu. Tapi jangan coba- coba untuk curiga kepada sahabat baik karena merekalah sosok yang siap memberikan senyuman kepada kita tanpa rasa pamrih. Sekalipun lu risih kepadanya. Katakan dengan mulut lu. Sebelum semuanya terlambat.”

Indri hanya tersenyum melihat Suci yang mematung cemberut. Indri mengetok kaca angkot dengan koin yang ada di tangannya. Kini angkot itupun berhenti. Turunlah mereka berdua di sebuah gang.

“Eh. Ndri! Rese’ lu! Kenapa kita turun di depan gang rumahnya Tomo. Lu mau ngapain sih.” Suci melayangkan protes kepada Indri. Melihat protes itu, Indri hanya tersenyum dan merangkul Suci untuk berjalan bersama.

Minggu siang. Tidak ada tanda- tanda angin basah. Namun sang mega tampak begitu muram. Tanpa permisi sang mega putih berubah menjadi gelap.

“Ndri! Ada bendera kuning! Ramai orang! Astagfirullah!” Suci menghampiri bendera itu. Di bacanya tulisan berspidol yang langsung membuat kaget Suci. Tulisan itu layaknya petir yang menusuk jantungnya. Membuatnya berhenti berdetak. Membuatnya merasa terpukul dan pukulannya sangat menyakitkan. Tulisan itu berkata ,”Telah berpulang ke Rahmatullah Tomo bin Bambang.”

Sahabat baiknya. Tempat ia tersenyum bersama, berbagi keluh bersama. Sosok yang selalu memberikan support, memberikan semangat. Sosok yang genggaman tangannya begitu spesial, sosok yang penuh kepedulian. Sosok yang ganjen, sosok yang membuat waktunya habis sia- sia. Sosok pengganggu cowoknya. Kini sosok itu, tak akan mungkin dilihatnya kembali.  

Suci. Gadis yang penuh kasih dan kesetiaan. Berjanji untuk setia sampai mati kepada kekasihnya. Wanita pecinta.

Suci sosok yang berada di tengah arus perasaan yang salah. Kebahagiaannya atas waktu yang dibuang bersama pria tanpa status. Tomo lelaki kontroversial. Lelaki yang mendekati Suci begitu dekat namun hanya ingin dianggap sebagai sahabat. Teman di kala cintanya sempat kandas. Saat sang cinta kembali, Tomo hanyalah Tomo. Sahabat yang mendekati Suci begitu dekat. Sang gadis yang penuh kasih dan kesetiaan itu telah memilih, untuk menjadikan Tomo sang sahabatnya menjadi lelaki yang kontroversial.

Hujan turun membasahi tanah makam. Satu per satu insan yang mengenakan setelan hitam- hitam mengembangkan payungnya. Insan berpayung itu satu persatu pergi meninggalkan pekarangan makam. Meninggalkan Tomo yang telah menyatu dengan tanah. Suci melangkahkan kaki secara perlahan. Mendekati Tomo. Badannya gemetar. Air matanya bercucuran, yang tetesan air matanya sudah tak terlihat lagi karena bersatu dengan tetesan hujan. Insan berpayung itu pergi begitu saja dengan wajah muramnya tak peduli bahwa baru saja mereka melewati wanita tak berperasaan. Yang teganya membenci sosok sahabatnya hingga sahabatnya telah menyatu dengan tanah.

Suci merasa terpukul sekali. Detak jantungnya berdegup begitu keras. Ia merasa setiap degupan jantungnya adalah dusta yang besar. Terlebih setiap langkah kaki kecilnya yang ia lakukan berulang- ulang. Sehingga perlahan demi perlahan. Wujud baru sahabatnya semakin terlihat jelas dan semakin jelas bahwa itu adalah tanah. Tempat orang mati mengakhiri hidupnya. Andai ia masih hidup. Dengan senyum manisnya. Ia pasti ada di sisi Suci dan memegang pundak Suci. Secara perlahan ia pun membisikan kata semangat dengan senyum khasnya,”Hei Suci. Temanku. Jangan takut. Aku di sini menemanimu dari kegundahan.”

Secara perlahan di peganglah pundak Suci. Suci yang gentir langsung menengok sigap ke arah pemegang pundak itu. Terlihatlah Indri dengan senyum manisnya. Ia pun berkata,”Hei Ci. Sampai gua terakhir bertemu dengannya. Ia hanya tersenyum dan tak peduli dengan reaksi ketus lu.”

“Tomo hanya tersenyum dan berkata, “Hei Ndri. Menyenangkan bukan ketika masing- masing dari kita saling bertemu dan tertawa bersama.” Lalu gua menjawabnya,” Iya Tom. Itu sangat menyenangkan.” Tomo pun berkata lagi,”Ternyata kesenangan kita itu sederhana ya.. Kesenangan kita bukan materi yang berlimpah ruah, Prestasi yang mendunia, atau Kesenangan lainnya yang membuat kita lupa diri. Ternyata kesenangan kita adalah melihat satu dengan yang lainnya itu dapat tersenyum. Dan itulah yang seharusnya gua kejar. Kesenangan yang terbentuk setiap hari. Membahagiakan elu dan Suci. Gak peduli apapun tanggapan kalian. Hidup itu sederhana kog Ndri, yang merumitkan adalah manusia yang menciptakan teorinya sendiri.”” Indri pun terus bercerita tentang pertemuan terakhirnya dengan Tomo.

Kini Suci tepat di depan kuburan Tomo. Suci menangis semakin tak karuan. Indri yang terharu hanya bisa tersenyum walau tanpa sadar air matanya ikut menetes. Suci yang menangis sesungguhnya tangis itu sudah tak berguna lagi. Permintaan maaf sudah terlambat. Orang mati terputus dengan yang hidup. Dan satu pelajaran berarti yang tak akan pernah dilupakan Suci adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidup bukanlah di saat ia berpisah dengan orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Namun saat ia berpisah dengan orang yang sangat berarti dalam hidupnya, dan ia tak sempat mengucapkan selamat tinggal kepadanya.

Selamat tinggal Tomo. Dan hujan terus saja jatuh memburu sosok insan yang merengkuh penuh penyesalan di atas tanah makam sahabatnya. 


Gudab 


Mau buat script pelem pendek. Gak sabaran gw bocorin dluan dah plotnya dalam bentuk cerpen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar